Happiness In An Unfair World. Chapter 29 - Another Goodbye Words

Diposting oleh Label: di
“Sebenarnya aku sangat malas membawamu masuk kedalam rumahku,”
Aku membaringkan diri di atas sofa. Karena tidak mungkin membiarkan orang sepertinya masuk ke
kamarku di lantai 2 terlebih ini sudah malam.
“Mau bagaimana lagi kan? Ini permintaan dari Kuroyama-san,”
Akari terlihat tenang walau sedang di dalam rumahku. Dengan kondisi pintu yang tertutup, dia
bahkan sibuk sendiri mencari beberapa obat oles dan juga perban di kotak obat yang di tinggalkan
oleh Jun-san.
“Di mana saja luka mu?” tanya Akari. Aku menggulung lengan bajuku hingga ke pundak, terdapat 6
sayatan pisau di pergelangan tangan kanan dan kiriku. Serta dua sayatan pada telapak tanganku.
Setidaknya tidak ada luka yang membuatku harus menunjukkan pundakku.
“Kau tidak merasa apapun dari luka itu? Kakimu bagaimana?” tanya Akari
“Aku belum banyak menyiksanya. Jadi, tidak ada yang masalah pada kakiku. Hanya, aku kehilangan
tenaga secara tiba tiba,” Jawabku.
“Itu karena terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhmu. Tapi, Aku kagum kau bisa bertahan
cukup lama dengan ini,”
Akari terlihat cukup mahir dari caranya membersihkan sampai memplester lukaku. Sepertinya dia
sudah sangat mendalami pekerjaannya.
“Itu bukanlah sesuatu yang bisa di kagumi. Justru ini membuatku terlihat seperti orang tidak
normal. Dan juga, Kau belum pulang ke rumahmu ya?”
Dari jauhpun bisa ku tebak. Terlebih dengan tas yang masih di bawanya hingga sekarang. Tapi, apa
dia terus duduk di depan rumahku sampai sekarang?
“Setelah pulang sekolah, Aku pergi unuk mencari informasi di Chiba. Lalu pulang dari sana, Aku
dapat pesan yang meminta bantuanku untuk mengobati lukamu. Mengingat apa yang kau lakukan
saat patah kaki waktu itu. Hingga tidak masuk selama 1 pekan,” Jawab Akari sambil menggunting
plaster yang telah dia rapatkan pada lukaku, dengan ini luka ku sudah di obati dengan baik.
“8 dari 10 orang yang ku obati biasanya akan kesakian. Tapi, Mengingat kau dapat berjalan cukup
jauh dengan luka ini, Aku tidak terkejut lagi,”
“Aku lapar, Pinjam dapur ya,”
Tanpa menunggu jawabanku, Dia langsung pergi ke dapur. Seperti biasanya, dia bertingkah se
enaknya. Saat sedang mengambil minuman di kulkas, Aku melupakan sesuatu yang cukup penting
“Wah!! Apa apaan makanan ini!?”
Sudah ku duga, Dia akan mengatakan itu. Aku lupa membuang bungkus Mie instan dan Cup ramenku
selama liburan musim panas, Sehingga tempat sampahku hanya di penuhi oleh itu
“Kau Apa yang kau makan selama Liburan?” tanya Akari
“Seperti yang kau lihat,” Jawabku tenang
“Setiap hari?”
“Ya selama Liburan,”
Mendengar jawabanku. Akari memandangku dengan heran, seolah aku telah melakukan sesuatu
yang sangat aneh di matanya.
“Kau belum mati?”
“Ya belumlah,” Jawabku spontan.
“Aku akan membuatkanmu makanan yang sedikit bergizi. Atau aku akan merasa tidak nyaman pada
Kuroyama-san,”
“terserah,”
Berhubung keadaanku yang sedang buruk, Aku membiarkannya membuat makanan apapun
untukku. Walau aku sendiri juga bisa membuat makan malam tanpa bantuannya,
*Duuurrrrr (Ceritanya suara ujan)
“Hujan,” Gumam Akari. Ke sunyian yang sempat terjadi di rumahku di pecahkan oleh suara air hujan
yang cukup deras, di iringi oleh suara petir yang mengiringinya. Karena dingin, Aku mengabaikan
Akari yang sedang di dapur dan pergi ke Kamarku untuk menghangatkan badan.
Jika hujan terus turun sampai selesai makan, Aku tidak tahu apa yang harus di lakukan Akari.
Karena, dia sepertinya tidak membawa payung dan di rumah ini hanya memiliki satu payung yang di
gunakan,
“Kenapa kau meninggalkanku di dapur?”
“Jangan se enaknya masuk kamarku,”
Tanpa menghiraukan peringatanku, Akari malah menaruh makanan dari panci di lantai kamarku dan
mulai menghidangkan makanan yang di buatkan. Karena merasa tidak ada yang bisa ku lakukan, Aku
mengikuti apa yang dia lakukan.
“Rikuto,”
“Apa?”
“Apa kau sedang memikirkan sesuatu?”
Aku selalu heran atas kemampuannya menebak sesuatu. Hampir seluruh yang dia tebak atasku itu
benar.
“Dari mana kau bisa menyimpulkan itu?” tanyaku
“Aku hanya merasa saja. Jadi, Apa yang kau pikirkan?” Akari balik bertanya
“Bukan apa apa. Pulanglah,”
Aku berusaha mengalihkan pembicaraan dengan memintanya untuk pulang. Berhubung hujan sudah
mulai Reda.
“Aku bisa mendengar semua hal yang memberatkanmu,”
“Aku tidak pernah berniat untuk bercerita padamu,”
Mendengar perkataanku, Akari tersenyum dan memakai Mantel dan perlengkapannya. Tanpa ku
duga, dia membawa payung lipat yang di simpannya di dalam tas.
“Sekedar saran. Ketika kau mulai membuka hatimu pada seseorang dan suka padanya, Aku rasa
mencari alasan kenapa harus menyukai orang itu hanya membuatmu semakin tersiksa dan tidak
akan menghasilkan apapun. Kenyataan bahwa kau menyukainya saja Sudah cukup. Tidak perlu
menyakiti diri sendiri dengan mencari cari alasan. Karena, Terkadang. Rasa suka itu datang tanpa
alasan,” ucap Akari panjang lebar. Aku sendiri tidak mengerti apa yang dia maksud.
“Jika memang kau mulai menyukai seseorang. Cukup tekankan atas dirimu sendiri bahwa kau suka
pada orang tersebut. Mencari alasan hanya membuatmu tersiksa. Karna, Menurut pandanganku,
Tidak perlu alasan untuk menyukai seseorang,”
Aku tidak menanggapi perkataannya. Karena tidak ada hal yang bisa ku tanggapi, Semua yang di
katakannya memang benar. Walau aku tidak mengerti untuk apa dia mengatakan hal seperti itu.
“Adikku pernah bilang, Kau adalah orang yang baik. Padahal dia selalu takut pada orang yang tidak
ku kenal,”
“Begitu ya?”
“Dasar Lolicon,”
(Lolicon : Ketertarikan pada anak di bawah umur 'yang terlihat kecil'. Tapi, ga seperah pedofil)
“Aku bukan Lolicon!!,”
“Aku punya keponakan yang berumur sama dengan adikmu. 6 orang, Jadi aku tahu apa yang harus di
lakukan dengan anak kecil,” tambahku. Setelah berbincang cukup lama, Aku mengantar Akari sampai stasiun sebagai ucapan terima Kasih telah memasakkanku kare yang cukup enak.
“Oh ya, beberapa minggu ke depan. Tepatnya di hari senin. seluruh kelas akan membicarakan prihal
Festival budaya,” Akari membuka pembicaraan di jalan
“Aku tidak ada hak untuk ikut serta. Aku tidak tahu banyak hal di sini,”
“Setidaknya kau bisa memberikan sedikit ide,”
“Aku tidak punya ide yang bagus,”
Setelah mengantarnya ke stasiun, Aku kembali ke rumahku dan membaringkan diri di atas tempat
tidurku. Tanpa menyalakan lampu yang ada di ruanganku. Entah kenapa, aku baru merasa perkataan
Akari beberapa jam lalu se akan menyindirku. Apa memang aku menyukainya?
Tapi, Semuanya kan sudah berakhir, Aku walau aku mengakuinya. Mulai hari senin nanti, Aku sudah
memutuskan unuk tidak ikut campur dengan urusannya sedikitpun. Dan juga, beberapa Jam
kedepan, pasti informasi akan sampai pada telinga kakakku dan itulah akhir dari apa yang ku lakukan
di tempat ini.
+++Rikuto’s POV end+++
----
Hari terlewati dengan biasa saja. Dengan kegiatan monoton Rikuto baik di sekolah maupun di
rumah, Serta Misaki yang selalu menyendiri. Yang berbeda hanyalah keadaan mereka yang semakin
melonggar. Lebih tepatnya, Rikuto menjauh dari Misaki karena apa yang sudah dia katakan dengan
ibu Misaki. Dan juga, Karena tidak ada tugas dari Jun. Dia juga jarang bersama Akari dan lebih sering bersama ‘teman’ kelasnya.
Setelah 3 minggu dari kegiatan Monotonnya. Tanpa di sadari, Rikuto menerima kabar bahwa
kakakknya sudah mengetahui apa yang terjadi. Meski begitu, Dia tetap menjalani harinya seperti
biasa menunggu apa yang akan di lakukan oleh kakakknya
“Kita akan mulai persiapan untuk Festival budaya!” Ucap Takaki membuka perbincangan. Seperti
yang di katakan Akari sebelumnya, persiapan untuk Festival budaya memang di adakan di hari senin.
“Kafe Maid” Dengan semangat. Takeshi menyuarakan pendapatnya dengan suara lantang.
Setelahnya, Para siswi memandang ke arahnya dengan tatapan jijik
“Rumah hantu,” Mashiro mengungkapkan pendapatnya dengan tenang menunjukkan sosok seorang
putri dari perusahaan terkenal. Sikapnya juga ter arah dengan baik.
“Bagaimana dengan mu Riku, tidak ada pendapat?”
Seluruh kelas memandang Rikuto. Seolah dia adalah harapan terakhir mereka, Yang di lakukan
olehnya sejak tadi memang hanya diam memperhatikan apa yang sedang di perbincangkan oleh
seluruh rekannya.
“Aku tidak tahu banyak tentang Festival budaya. Karena aku baru berada di sini tahun ini. Jadi, Aku
tidak punya hal yang dapat ku sampaikan,” ucap Rikuto tenang
“Takajiro-san!” Seorang siswi mengangkat tangannya
“Ada apa?”
“Bagaimana dengan Kafe butler dan Maid? Jadi siswa juga ikut menjadi pelayan. Tapi, Untuk lebih
mengenal Kuroyama-kun yang selalu cuek. Kita bisa membuatnya menggunakan seragam yang di
gunakannya saat masih di indonesia,”
Seluruh kelas terdiam. Memikirkan apa yang di katakan oleh siswi tadi, Tidak lama kemudian, Takaki
melingkari tulisan kafe dan menambahkan sedikit tulisan.
“Aku rasa Riku tidak keberatan ya? Sedikit tambahan, Untuk melengkapi. Para siswa akan
menggunakan cosplay. Karena, Jika menggunakan pakaian butler. Riku akan berbeda sendiri dan itu
bisa membuatnya segan,”
“Sudah di putuskan!!!” Ucap Seluruh siswa di kelas di sertai dengan berakhirnya perbincangan itu.
Rikuto menghela nafasnya, dia sudah menduga akan di berikan tugas aneh oleh sekolah. Tapi, dia
juga tidak bisa menghindari tugas tersebut.
“Riku, Mau ke kantin?” tanya Takaki
“Aku mau ke toilet,” Jawab Rikuto sambil pergi meninggalkan Takaki yang masih merapihkan
dokumen di meja guru. Dia melewati gerbang depan kelas tanpa menoleh pada Misaki yang sedang
melihatnya dari samping. Seolah bersikap bahwa Misaki itu tidak ada di tempat itu.
Ini dia lakukan bedasarkan apa yang telah di sepakati dengan ibu Misaki saat akan pergi ke Osaka
untuk menghadapi Takuya. Walau sebenarnya Dirinya enggan untuk menjalankan permintaan dari
ibu Misaki. Tapi, itu adalah demi kebaikan Misaki sendiri. Jadi, tidak ada yang bisa di lakukan kecuali mematuhi apa yang di minta.
‘Rikuto. Gawat, Kakakmu. akan berada di rumahmu hingga kau pulang nanti,’ Tulis Jun pada email
yang di kirimnya untuk Rikuto. Melihat isi pesan itu, Dia sama sekali tidak terkejut. Perkembangan
teknologi Informasi sudah sangat menakutkan.
‘Aku sudah memperkirakan hal itu. Bahkan aku sudah tahu apa yang harus di lakukan jika memang
harus pindah sekolah lagi,’ Balas Rikuto. Setelah mengetahui pesan itu terkirim, dia langsung pergi
kembali ke kelas untuk mempersiapkan pelajaran berikutnya.
---
Setelah melewati beberapa mata pelajaran dengan normal. Waktu untuk pulang bagi para siswa
telah datang. Kegiatan Klub juga di liburkan sampai waktunya Festival Budaya yang akan di adakan
beberapa minggu lagi. Karena itu, seluruh Siswa langsung meninggalkan kelas setelah merapihkan
barangnya Masing masing.
“Riku, Kau mau kemana setelah ini?” tanya Takaki sambil menepuk pundak Rikuto yang sedang
merapihkan isi tasnya.
“Pulang,” Jawab Rikuto singkat.
“Mau pergi ke suatu tempat terlebih dahulu? Mungkin kau akan menemukan sesuatu yang bagus
tentang Festival budaya,” Ajak Takaki. Rikuto terdiam untuk memikirkan sesuatu dalam beberapa
saat.
“Maaf, Aku ada pekerjaan sambilan mendadak. Aku masih harus berada di sini untuk beberapa
saat,”
“Kalau begitu aku duluan. Riku, Misaki!”
Setelah memberi salam. Takaki pergi meninggalkan mereka berdua dengan riang, Seperti sikapnya
selama ini. Tidak lama setelah Takaki pergi, Misaki berdiri dari tempat duduknya dan menghadap
Rikuto.
“Apa yang kau tunggu? Melakukan pekerjaan dari ayah dengan Akari-san?” tanya Misaki.
“Itu bukan urusanmu kan?”
Misaki menunduk sambil mengepalkan tangannya. Seoalah bersiap mengeluarkan semua yang telah
mengganggunya. Rikuto hanya melihat keadaan Misaki dengan tatapan dingin, Sangat berbeda
dengan yang dia lakukan saat mereka sudah memutuskan untuk saling berteman.
“Ke___”
“Apakah ibumu tidak akan marah jika kau bicara denganku? Aku juga bisa kena marah Lho. Karena
aku sudah berjanji untuk tidak ikut campur lagi sejak aku datang menyelamatkanmu,”
“Oh jadi begitu!. Kalau begitu aku akan pulang!, Padahal aku hanya berniat untuk berterima kasih
pada apa yang telah kau lakukan. Tapi aku sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk bicara
denganmu!!,”
“Sampai nanti,” Dengan kesal, Misaki memakai Mantelnya dan berjalan keluar kelas.
“Jika... Aku tidak akan terlihat lagi di hadapanmu, Itu tidak akan menjadi masalah kan?”
Misaki menghentikan langkahnya saat mendengar apa yang Rikuto katakan. Tidak terdengar seperi
apa yang sering di katakan oleh orang yang gagal pada pekerjaannya. Apa yang dia katakan seolah
itu memang tidak bisa di hindari.
“Apa maksudmu?” tanya Misaki sambil menoleh pada Rikuto yang sedang melihat ke jendela.
“Jika ingin jujur. Aku berada di sini untuk bicara beberapa patah kata padamu. Pertama, Ibu dan
ayahmu sudah berbaikan kan?”
“Sudah. Mulai dari sekembalinya aku dari Osaka, Ayah akan terus memberikan nafkah pada
keluargaku. Walau dia tidak bisa menikahi ibu kembali,” Jawab Misaki se adanya
“Syukurlah. Setidaknya aku tidak lagi jadi penghalang di keluarga kalian,” Ucap Rikuto sambil
memegangi rambutnya.
“Kau bukan penghalang Ri-__”
“Sudah ku bilang jangan panggil aku begitu kan? Karena jika aku mendengarnya dari mulutmu. Itu
bisa membuat mentalku yang sudah kuat ini retak dalam seketika,”
“Aku pengganggu lho. Jika aku tidak masuk ke sini sebagai murid pindahan, hubunganmu dengan
Jun-san mungkin akan lebih baik,”
“Kau salah, Jika kau tidak pernah datang. Aku tidak akan mendapatkan teman. Dan juga, sebelum
kau datang, Ibuku dan ayahku tidak pernah berbicara. Bahkan, mereka sama sekali tidak pernah
melakukan sesuatu untuk memperbaiki hubungannya,” Sanggah Misaki
“Aku yang bahkan tidak punya tujuan ini tidak pantas untuk menjadi teman seseorang. Karena,
Orang yang tidak membuat sebuah kesan di suatu tempat, Kehadirannya tidak memiliki arti. Dan ketidak hadirannya tidak akan di sadari,”
“Kau bicara tentang dirimu?” tanya Misaki
“Begitulah. Maaf jika kau berbicara terlalu lama tapi, ada hal yang aku ingin beritahukan padamu,”
Secara tiba tiba, Rikuto melempar sebuah koran lama yang dia ikatkan dengan bukunya sambil
membalikkan badannya.
“!!”
Misaki terkejut melihat orang yang ada di koran lama itu sama dengan Rikuto. Bahkan persis, yang
berbeda hanyalah rambut orang yang ada di depannya itu terlihat sedikit lebih pendek walau masih
menutupi mata kanannya.
“Rambutku bukan tipe menggantung, Dengan melihatnya secara sekilas saja harusnya kau tahu. Aku
hanya membuatnya menggangtung dengan ini,” Rikuto menunjukkan jepit rambut yang cukup kecil
dan berwarna transparan. Saat Misaki mengingat orang yang ada di koran lama itu, Dia mengingat
saat rekan kelasnya sedang membicarakan sebuah berita yang entah dari mana bisa terkenal.
Dengan foto seorang siswa SMP sedang memukul leher Seorang petugas keamanan dengan batang
besi.
“Aku tidak bisa bohong setelah Takuya memaksaku. Aku juga tidak akan melarikan diri dari hal ini
lagi, Aku akan membuang semuanya,” Ucap Rikuto sambil memakai kembali penjepit yang membuat
rambutnya tidak menutupi matanya.
“Pantas saja, Aku merasa rambutmu terlalu tebal di bagian itu. Tapi, kau lebih cocok dengan yang
seperti tadi,”
Entah siapa yang memulai, Misaki mulai merasa seperti berbincang dengan tenang bersama Rikuto.
Dan mereka terus melanjutkan pembicaraan hingga hari mulai gelap.
“Aku masih akan di sini sampai jam 6. Karena aku harus pergi ke supermarket jam 7, ada penjulan
terbatas sampai jam 8,”
“Aku pulang duluan. Selamat tinggal,”
“Selamat tinggal?” tanya Misaki mengomentari perkataan Rikuto yang sedang memakai sarung
tangan yang belum di jahit setelah kejadian itu. Tanpa menjawab Pertanyaan Misaki, Rikuto berjalan
untuk keluar kelas. Tapi, Langkahnya terhenti di depan Misaki. Saat ini mereka berdiri saling
berhadapan, walau Misaki hanya bisa melihat leher Rikuto karena dia lebih pendek.
“Ini hanyalah sebuah kemungkinan, terburuk. Tapi,”
“Jika..... Apa yang ku katakan di awal ini terjadi padaku, Maafkan aku ya,” tambah Rikuto sambil
memegang kepala Misaki dan mengacak rambutnya.
“Hei.. Ap___”
“!!!?”
Misaki terpaku, melihat wajah yang di buat Rikuto. Setelah mengatakannya, Rikuto tersenyum.
Bukan senyum palsu yang selalu dia berikan saat bersikap sopan atau senyuman kejam yang dia
berikan saat dia sudah berpikir bahwa dia pasti akan mengalahkan seseorang. Tapi, senyum yang
belum seorangpun melihatnya semenjak ibunya meninggal. Senyuman yang tulus dari dalam
hatinya.
“Jika itu terjadi, Sampaikan permintaan maafku pada ibumu dan Rekan sekelas. Kalau kau takut,
cukup tulis saja di kertas dan letakkan di mejaku. Lalu,” Rikuto memotong apa yang di bicarakan
bersamaan dengan menghentikan senyumannya
“Terima Kasih atas segalanya. Dan, Selamat tinggal,”
++++Rikuto’s POV+++
Entah bagaimana, Aku telah mengatakan salam singkat pada Misaki dan mengakhiri apa yang
menggangguku beberapa hari ini. Aku sudah bisa menebak apa yang menungguku di rumah,
walaupun di dalam diriku masih ada ke ingingan untuk menyelesaikan sekolah di sini hingga lulus.
Tapi, dengan apa yang sudah ku lakukan. Resiko yang ku terima adalah aku harus pulang ke
indonesia.
‘Jun-san. Aku mungkin sudah tahu apa yang akan terjadi saat aku sampai rumah, Jika memang akan
terjadi, Aku berterima kasih atas bantuan dan dukungan yang pernah kau lakukan. Aku tahu, balas
budi yang ku berikan juga tidak mencukupi kebaikanmu. Tentunya aku akan meminta seluruh
keluargaku membicarakannya dengan kepala dingin saat sampai di rumahku nanti. Kalau begitu,
Terima kasih. Dan selamat tinggal. Untuk kuci rumah akan ku letakkan di kotak surat,’ Tulisku sambil menekan tombol kirim pada ponselku.
Entah apa yang terjadi padaku, hari ini aku sangat tenang. Seperti telah menghapus sesuatu yang
memberatkanku dan bukan melarikan diri dari hal tersebut. Meski begitu, Aku tidak bisa melawan
keinginan besar dalam diriku untuk menyelesaikan sekolah di sini. Karena aku merasa bisa
menemukan hal yang menarik di sini. Setelah kehilangan ketertarikan pada suatu hal dalam waktu
yang lama.
Untuk sekilas aku teringat perbincangan dengan Misaki, tentang aku yang sebenarnya membantu
kedua orang tuanya untuk berbaikan. Aku sudah sering mendengar perkataan ‘Kau telah membuat
keadaan membaik’ Dari banyak orang. Tapi, aku pertama kali mendengar perkataan tersebut dari
seseorang yang mengatakannya dengan sepenuh hati. Dan Tanpa aku sadari, Aku tersenyum
padanya, Mewakili seluruh perasaanku yang pernah ku dustai. Meski begitu, Tanpa ku sadari, Aku
selalu mencari kata kata pengganti selamat tinggal seolah tidak ingin memberatkannya tapi, Sampai
Akhir perbincangan, Aku tidak bisa menemukan apa yang bisa menggantikan perkataan itu.
“Kau pulang cukup larut,” Ucap kakakku yang sedang bersandari pada Mobil taksi tepat di depan
Rumahku. Aku sudah tahu apa yang akan di katakannya
“Wajar kan, untuk memberikan beberapa patah kata pada rekan kelas saat akan pergi,” Balasku
sambil mengunci pintu rumah.
“Kau sudah tahu kan? Apa yang harus kau lakukan?” tanya Kakaku
“Tentu. Tapi, Aku punya satu syarat,”
“Apa itu?”
“Setelah sampai di sana. Sebelum mendaftarku ke sekolah lain, Biarkan aku memperbincangkan
tentang ini. Dan juga, Jangan katakan apapun pada sekolah sampai Ayah memutuskan dengan baik,”
Jawabku sambil memasukkan Kunci pintu kedalam kotak surat.
“Baiklah, Kita akan bicarakan di rumah. Walau kemungkinannya sangat kecil kau akan di biarkan
terus di sini,”
“Itu sudah cukup,”
Aku masuk kedalam taksi dengan tenang. Untuk sekarang tidak ada hal lain yang akan
menggangguku. Di beri 1 persen kesempatan saja sudah membuatku tenang. Setelah kakakku naik.
Taksi langsung melaju menuju Bandara.
Walau aku tidak memberi tahu siapapun mengenai ini. Setidaknya aku sudah berpamitan pada orang
yang sudah membuatku mengatakan tentang diriku cukup banyak. Juga orang yang sudah
membuatku merasa tidak nyaman karena beberapa hal.
Di perjalanan. Aku teringat satu orang yang sudah bekerja bersamaku dan sudah cukup banyak
memberiku dorongan atas sesuatu yang membuatku Ragu. Juga orang pertama yang memiliki
kontakku. Walau dia sangat menjengkelkan. Aku masih belum mengatakan apapun pada Akari.
Sebagai gantinya, Aku Memutuskan untuk menulis sebuah email untuknya.
‘Terima Kasih atas waktu yang singkat ini. Dan juga, Selamat tinggal. Untuk database ku berikan
passwordnya padamu nanti malam. Kau bisa serahkan pada orang lain,’
‘Sekali lagi. Untuk seluruh Rekanku. Terima kasih atas bantuannya dan, Selamat tinggal,’
Posting Komentar

Back to Top