Happiness In an Unfair World - Love and Fate. Chapter 00 - After Story

Diposting oleh Label: di
Cerita ini adalah lanjutan dari Happiness In an Unfair World (Season 2, atau Jilid 2). Yang lebih fokus kedalam sisi Romansa.
Selebihnya.. Silahkan membaca.
Dan juga, Ini masih dalam tahap editing. Jadi, bila ada kesalahan teknis harap di maklumi. ^-^

Chapter 00 - After Story
Setelah kematian ibuku, Kelompok yang menyebut mereka kelinci sawah menawarkan
bantuan untuk membalas perbuatan temanku yang selalu menjadikanku mainan untuk
kejahilan mereka. Tentunya aku menolaknya. Hingga akhirnya mereka memaksaku untuk
belajar teknik beladiri yang ku inginkan dengan ancaman akan campur tangan dan membalas
perbuatan mereka jika aku menolak.
Selama masa pelatihan. Tidak jarang aku pulang dengan plaster di seluruh tubuhku. Mereka
melatihku dengan sangat berat. Tidak sungkan untuk menendangku yang sudah terbaring di
tanah untuk membuatku bangun dan kembali memukuliku. Mereka membuat tidak ada yang
bisa di lakukan untuk menghentikan apa yang mereka lakukan kecuali menghindar dan
membalas hingga mereka berhenti bergerak.
Setelah hampir satu bulan, Aku mulai bisa menghindar dan membalas serangan mereka.
Meski begitu, Aku selalu menghentikan serangan balasan karena rasa sakit yang ku terima
dari pukulan yang selalu aku terima. Hingga aku sampai pada titik dimana aku mengabaikan
rasa sakit yang didapat saat menerima pukulan dan memusatkannya pada pukulan yang akan
ku berikan pada mereka. Walau itu membuatku merasa sangat sakit setelah memukul mereka.
Tepat satu bulan, Masa pelatihanku berakhir. Sebelum aku meninggalkan tempat itu, mereka
mengatakan bahwa. Jika aku membalas perbuatan mereka, Secara otomatis aku menjadi
bagian dari kelinci sawah dan akan menunggu selama 2 minggu.
Awalnya, Aku bisa terus berdiam diri dan menahan rasa kesalku saat menerima kejahilan dari
mereka. Seperti, Meletakkan pupuk tanaman kedalam makananku atau membuang pakaian
olah raga yang akan ku gunakan kedalam bak mandi toilet sekolah hingga harus mengikuti
pelajaran olah raga dengan keadaan baju yang basah.
Ini sudah biasa ku dapatkan. Tapi, entah kenapa aku merasa sangat terganggu sekarang.
Bukan karena mereka menertawakanku. Melainkan karena mereka sangat berisik saat
menertawakanku dan aku harus mengarang cerita pada kakakku tentang apa yang ku terima.
Dalam beberapa hari, Aku selalu diam dan melampiaskan kekesalanku pada loker mereka
dengan tujuan membuat mereka jera tanpa harus menjadi anggota kelinci sawah. Tapi,
mereka malah semakin menjadi setelah mengetahui akulah penyebab pintu loker mereka
penyok.
Tepat di hari ke 14. Aku sudah tidak tahan, sepertinya kekuatan untuk bisa terus bertahan
hanyalah keinginanku untuk tidak membuat ibu cemas. Tapi, sekarang. Ibu sudah tidak lagi
di sini. Dan kekuatan itu hilang.
“Kenapa Rik? Cari baju olah raga?”
Tanya salah satu orang yang paling sering menjahiliku saat aku tidak menemukan pakaianku
di kamar mandi. Aku mengabaikan perkataannya dan terus mencarinya hingga aku
menemukannya ada di dalam loker dan di timpa oleh sepatu yang berlumpur. Ini sudah
keterlaluan menurutku. Karena, hari ini. Mereka sudah melakukannya dua kali.
“hahaha!! Ku pikir, Untuk apa kau menggunakan pakaian olah raga. Kau kan sangat payah
dalam olah raga apapun. Pasti Ibumu tidak pernah mengajarkan padamu pentingnya olah
raga,”
“Siapa yang bilang itu?” tayaku pelan sambil mengangkat sepatu berlumpur itu. Bukan
menjawab, Mereka malah mentertawakanku hingga aku sampai pada puncak kekesalanku
dan merobek sepatu itu dengan tanganku. Latihan super berat itu memberikanku kekuatan
untuk merobek bahan sepatu yang cukup kuat hanya dengan 2 jari di masing masing
tanganku.
“Hoy!! Apa yang kau lakukan pada sepatu__”
Sebelum dia menyelesaikan ucapannya, Aku melempar sepatunya yang sudah ku rusak ke
wajahnya dan membenturkan kepalanya di loker sepatunya.
“Kau tuli ya? Aku tanya siapa yang Mengatakan itu. Jika kau jawab, Aku gak akan
melakukan hal ini.”
“Sialan!!”
Dia memukul wajahku untuk melepaskan tanganku yang masih ada pada wajahnya. Entah
kenapa pukulan yang ku terima sama sekali tidak sakit. Walau suaranya cukup keras. Padahal
dulu aku selalu merasa sakit saat di pukul atau terbentur.
“Sepertinya kau sudah mula__”
“Jangan banyak ngomong,”
Aku menendang dadanya dengan keras hingga pintu loker rusak. Merasa aku serius, beberapa
temannya yang ada sekitar mulai berkumpul untuk memukuliku. Aku mengambil pecahan
kaca dan mulai menghadapi 5 orang yang ingin memukuliku.
“Dasar preman!!!”
Aku menghela nafas. Sudah menjadi kebiasan orang bodoh jika sudah tidak bisa melawan,
mereka akan menghina orang yang ada di depannya.
“Dengar ya, Kalau kalian tidak mengejek ibuku. Aku tidak akan melakukan ini pada kalian!!
Dan juga, Jika kau mengejek ibuku lagi, Aku tidak segan untuk berbuat lebih!!” Aku
mengangkat suaraku di telinga pemilik sepatu yang sepatunya ku rusak. Setelah membungkus
pakaian olah raga yang kotor, Aku pergi meninggalkan mereka semua dalam keadaan
terbaring di lantai dengan meja dan bangku yang menimpa mereka.
Setelah kejadian itu, aku resmi menjadi anggota dari kelinci sawah. Hanya itu satu satunya
pilihanku, Aku sudah tidak memiliki tempat kembali, Jika aku menolak. Aku yakin 5 orang
itu akan melaporkan apa yang aku lakukan pada pihak sekolah. Jadi, Aku memilih untuk
bergabung dan meminta mereka membereskan apa yang terjadi hari itu agar tidak terdengar
oleh siapapun serta menyembunyikan identitasku.
Karena kebingungan mencari nama samaran, Mereka mengetes kemampuanku. Mulai dari
pemikiran, Kemampuan fisik dan lainnya. Hasilnya, aku adalah orang ke 4 dari atas. Itulah
awal dari julukanku sebagai no. 4.
Semakin lama berada di sana, Aku semakin rusak. Selalu di tunjukkan oleh realita pahit yang
selama ini tidak ku sadari, Se akan mereka ingin membuatku berubah tanpa mengubahku.
Aku melihat semua dengan mataku, Rencana busuk orang yang selalu ku anggap
teman ,kekasihku saat itu yang mengkhianatiku tanpa pernah aku ketahui. Hingga kebusukan
orang yang pernah ku anggap sebagai pengganti ibu.
Seperti merubahku saja belum cukup, Mereka juga menyarankan agar aku melihat kembali
alasanku bekerja keras. Jika itu hanya untuk ibu, Dia sudah tidak di sini. Jika itu untuk ayah
dan lainnya, Mereka tidak akan puas dengan apa yang ku lakukan dan hanya meminta untuk
meningkatkannya tanpa mengatakan bahwa aku sudah bekerja keras. Jadi itu tidak ada
artinya.
Setelah semua, Aku tidak bisa bilang bahwa aku di pengaruhi, Karena, Semua itu terjadi
dengan keputusanku. Aku sadar bahwa pemikiran seperti itu memang sudah ada sejak aku
kecil. Mereka hanya menghidupkan pemikiran tersebut. Hari demi hari aku semakin sering
mengambil bagian permintaan sepulang sekolah dan tengah malam di saat semua orang
tertidur, Aku semakin tertarik kedalam kelinci
kembali lagi.
Hingga salah satu dari mereka mengambil gambar di mana aku sedang memukul salah satu
petugas ke amanan dari sebuah tempat perdagangan narkoba dilakukan dan dia
menguploadnya. Berkat itu, Ayah dan kakak tahu semua yang ku lakukan selama satu tahun
lebih ini dan terus memarahiku. Dan memaksaku untuk ikut program pertukaran pelajar
dengan alasan tidak ada sekolah yang akan menerima ku. Merasa perjanjianku di rusak, Aku
keluar dari kelompok tanpa menemui ketuanya. Dan pergi mengikuti program pertukaran
pelajar ke jepang.
Setelah melarikan diri selama 6 bulan, Aku pergi kembali untuk mengatakan bahwa aku
keluar dan memberikan alasanku. Tentu mereka tidak menerima alasan itu hingga aku
terpaksa menghadapi seluruh anggota selama 2 jam sampai ada orang yang menghentikan
perkelahian yang sama sekali tidak se imbang dan membawaku yang terluka ke rumah sakit
terdekat.
Walaupun sudah tidak berhubungan dengan mereka. Aku sudah terlanjur berubah dan tidak
mungkin bisa kembali pada diriku yang lama. Tepatnya, tidak ingin. Tidak ingin menjadi
orang lemah dengan lebel ‘Baik’. Tidak perduli akan status sosial yang ku dapatkan jika
memaafkan orang yang mengusikku. Aku lebih memilih untuk menghancurkan mereka. Aku
juga tidak ingin menjadi orang yang berpikir positif walau sudah melihat seluruh hal negatif
yang ada. Tidak ingin berusaha keras dengan mengatas namakan orang yang tidak pernah
melihat pada kerja keras tersebut. Tidak perduli akan di sebut rusak, Tidak baik, Atau apapun
itu. Aku lebih tidak suka banyak orang yang menyebutku baik kemudian hanya
memanfaatkanku dan pergi tanpa menganggap manfaat yang ku berikan untuk mereka.
-----
“Ri-kun,”
“Ri-kun!!!”
Aku tersadar dari lamunanku oleh orang yang terus memanggilku dari samping. Orang yang
berusaha membuatku menganggapnya teman. Seorang yang sudah mendapat kepercayaan
dariku. Dan orang yang mencarikanku apa yang ingin dilakukan saat aku sama sekali tidak
ingin lakukan apapun.
“Ada apa Misaki?”
“Rumah mu sudah lewat lho?”
Saat ini, Aku sedang berjalan bersamanya setelah berjumpa kembali di mana selama 2 bulan
aku harus pulang karena beberapa hal. Tepat di tanggal 1 januari, Tahun baru
“Kalau begitu, Aku akan mengantarmu,”
“Yakin? Itu akan membuatmu seperti melewati jalan yang tadi kau lewati. Terlebih, Kau
tidak mengenakan mantelmu,”
“Aku sudah biasa merasakan rasa kedinginan,” Jawabku sambil mengencangkan syal yang ku
gunakan.
“Ngomong ngomong. Kau mengirimi ku pesan dengan email Jun-san, Apa kau punya
ponsel?”
Misaki tiba tiba berhenti dari langkahnya dan menunduk, seolah sedang menjari sesuatu
untuk menjawab dari bawahnya.
“Aku rasa.. Aku belum membutuhkanya.. jadi, kurasa. Itu tidak perlu,”
Kenapa dia mendadak terbata bata? Apa jangan jangan..
“Kau tidak punya ponsel walau kau menginginkannya?”
“bu... Bukan begitu!!”
“Mau membelinya bersamaku? Ku rasa kau tidak membelinya karena tidak tahu mana yang
harus di pilih,”
Apa yang ku ucapkan? Kenapa aku malah mengajaknya untuk membeli ponsel bersama? Itu
bukan urusanku kan?
“sepertinya tidak usah, Jika kau belum membutuhkannya,” ucapku menyanggah perkataan
spontan dari mulutku. Tapi, Misaki malah tersenyum menanggapi sanggahanku.
“hmm.. Sepertinya menarik, Membeli ponsel bersamamu,” gumam Misaki
“Itu terdengar jelas hoi!!”
“hahaha,”
Dia tertawa, Entah apa yang lucu di menurutnya.
“Kau memang menarik Ri-kun,”
“oh, Kita sudah sampai rumahku,”
Aku terdiam sambil memandang rumah yang ada tepat di depanku, Sebuah kedai yang sudah
tutup dengan tulisan ‘Toko Kue Shiroyama’ Di depan pintunya. Sepertinya apa yang di
katakan Akari tepat.
“Tidak terasa ya,” gumamku
“Mungkin karena Berjalan bersamamu itu cukup menarik,”
Lagi lagi, Dia mengatakan hal membuatku merasa canggung, Terlebih dengan wajah seperti
itu. Tapi, aku akui, Aku cukup menikmati berjalan di sampingnya tadi, walau lebih sering
terdiam. Tiba tiba, Aku menyadari ada mata yang sepertinya mengawasiku dari tempat yang
cukup tinggi, Setelah sedikit menolah, Aku mendapati senpai itu sedang melihat ke arahku
dan Misaki yang masih terdiam di depat rumahnya.
“Sepertinya, Aku harus pulang dulu,”
“Kenapa tidak mampir?” tanya Misaki
Mana bisa aku mampir, Hubunganku dengan ibumu tidak cukup baik. Terlebih, Aku tidak
nyaman oleh pandangan mata di yang sedang melihat ke arahku.
“Tidak perlu, Aku masih harus menyapa jun-san. Jika dia ada di dalam, Aku mungkin akan
mampir,” Aku berbohong untuk bisa segera pergi dari depan rumahnya dan tidur.
“Tapi, Aku ingin minta bantuan,” ucap Misaki
“apa itu?” tanyaku
“3 hari lagi. Tepatnya hari minggu sebelum sekolah, Pergilah membeli ponsel bersamaku,”
jawab Misaki sambil melempar senyumannya padaku.
“Boleh saja,”
Merasa sudah mendapat perstujuan dari Misaki untuk pulang, Tiba tiba, Pintu rumah Misaki
terbuka dengan cukup keras.
“Bocah Rikuto!!”
Aku berbalik kembali, melihat orang yang sedang bicara padaku, Ibu Misaki.
“ada apa?” tanyaku
“Bawa ini!”
“untukku?” tanyaku setelah menangkap bungkusan yang dia berikan.
“Sebagai terima kasih karena sudah mengantarkan Misaki, dan juga Permintaan maaf karena
telah menuduhmu,” Jawabnya pelan.
“Tapi, jangan salah paham ya, Aku hanya mengijinkan kalian terus berteman. Bukan ber arti
aku akan menyetujui jika hubungan kalian semakin menjauh,”
Apa maksudnya? Apa dia berpikir aku akan menjadikan Misaki kekasihku? Jangan bercanda.
Aku bahkan tidak memikirkan hal itu sama sekali.
“kalau begitu aku pulang,” setelah menunduk, Aku berbalik dan melangkahkan kaki kembali
ke rumah. Sambil membalas tatapan orang yang dari tadi memperhatikanku dari lantai 2
rumahnya.
“aku pulang,”
Aku membaringkan diri di atas tempat tidurku yang sama masih dalam keadaan sama seperti
saat ku tinggalkan. Jun-san sepertinya sama sekali tidak datang untuk mengecek keadaan
rumahnya selama aku pergi.
Minggu besok, Aku harus memenuhi janjiku pergi bersama Misaki. Padahal aku harusnya
bisa menolaknya dan pergi tanpa menunggu perstujuan darinya. Tapi, entah kenapa aku
seperti tidak bisa mengulang hal yang pernah ku lakukan dulu padanya. Aku merasa seperti
tidak ingin melihat wajah sedihnya lagi. Setidaknya aku tidak ingin melihat wajah sedihnya
yang disebabkan oleh perbuatanku.
Karena terlalu lelah dari perjalanan dan terlalu banyak berpikir. Di tambah, aku lupa
mengambil Mantelku dari Misaki tadi. Tidak butuh waktu lama hingga aku tertidur...
Posting Komentar

Back to Top